Sabtu, 02 April 2016

Mati Bunuh Diri

Katanya mati bunuh diri itu mati sebelum waktunya dan bukan karena Allah Ta'ala, lalu apakah berarti yang mencabut nyawa bukan malaikat Izrail?

Dijawab oleh Ustadz As Sarbini Al Makassari:

Anggapan bahwa orang yang mati bunuh diri mati sebelum waktunya dan bukan karena Allah Ta'ala adalah aqidah yang batil. Ini adalah aqidah kaum Mu’tazilah yang sesat, yang mengingkari takdir Allah Ta'ala. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa orang yang mati terbunuh atau bunuh diri, adalah mati sebelum ajal yang diketahui, dikehendaki dan ditetapkan dalam Kitab Lauhul Mahfuzh oleh Allah  Ta'ala. Artinya mati di luar takdir Allah  Ta'ala. Kalau seandainya dia tidak terbunuh atau bunuh diri, dia akan hidup hingga ajal yang ditakdirkan oleh Allah  Ta'ala. Jadi menurut mereka, orang yang mati terbunuh punya dua ajal.
Yang benar menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ salaf, bahwa orang yang mati terbunuh atau bunuh diri adalah mati sesuai ajal yang ditakdirkan oleh Allah  Ta'ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Orang yang mati terbunuh sama halnya dengan orang mati lainnya. Tidak ada seorang pun yang mati sebelum ajalnya, dan tidak ada seorang pun yang kematiannya mundur dari ajalnya. Sebab ajal setiap sesuatu adalah batas akhir umurnya, dan umurnya adalah jangka waktu kehidupannya (di dunia). Jadi umur adalah jangka waktu kehidupan (di dunia) dan ajal adalah berakhirnya batas umur/kehidupan.”
Syaikhul Islam juga berkata: “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya dan Allah  Ta'ala telah menulisnya. Jadi Allah Ta'ala telah mengetahui bahwa orang ini akan mati dengan sebab penyakit perut, radang selaput dada, tertimpa reruntuhan, tenggelam dalam air, atau sebab-sebab lainnya. Demikian pula, Allah  Ta'ala telah mengetahui bahwa orang ini akan mati terbunuh, apakah dengan pedang, batu, atau dengan sebab-sebab lain yang menjadikan terbunuhnya seseorang.”
Jadi Allah  Ta'ala yang menakdirkan kematiannya dengan sebab itu. Allah  Ta'ala berfirman:
“Tidaklah suatu jiwa akan meninggal kecuali dengan seizin Allah (takdir Allah), Allah telah menulis ajal kematian setiap jiwa.” (Ali ‘Imran: 145)
As-Sa’di Rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Kemudian Allah  Ta'ala mengabarkan bahwa seluruh jiwa tergantung ajalnya dengan izin Allah  Ta'ala, takdir dan ketetapan-Nya. Siapa saja yang Allah  Ta'ala tetapkan kematian atasnya dengan takdir-Nya, niscaya dia akan mati meskipun tanpa sebab. Sebaliknya, siapa saja yang dikehendaki-Nya tetap hidup, maka meskipun seluruh sebab yang ada telah mengenainya, hal itu tidak akan memudharatkannya sebelum ajalnya tiba. Karena Allah  Ta'ala telah menetapkan, menakdirkan dan menulis hidupnya hingga ajal yang ditentukan. Allah  Ta'ala berfirman:
“Maka jika ajal mereka telah datang mereka tidak mampu mengundurkannya sesaat pun dan mereka tidak mampu memajukannya (sesaat pun).” (Al-A’raf: 34)
Sebaliknya, kaum yang menafikan dan menolak adanya sebab-musabab dalam terjadinya sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah  Ta'ala mengatakan bahwa seandainya dia tidak terbunuh, maka dia tetap akan mati saat itu.
Maka hal ini juga batil, dan dibantah oleh Ibnu Taimiyah t dengan mengatakan: “Kalau seandainya Allah  Ta'ala mengetahui bahwa orang tersebut tidak akan mati terbunuh, maka ada kemungkinan Allah  Ta'ala menakdirkan kematiannya pada saat itu dan ada kemungkinan Allah  Ta'ala menakdirkan tetap hidupnya dia hingga waktu yang akan datang. Maka penetapan salah satu dari dua kemungkinan tersebut atas takdir yang belum terjadi adalah kejahilan. Hal ini seperti perkataan seseorang: ‘Kalau orang ini tidak makan rezeki yang ditakdirkan Allah  Ta'ala untuknya, maka mungkin saja dia akan mati atau dia diberi rezeki yang lain’.” (Majmu’ Al-Fatawa [8/303-304] cet. Darul Wafa’, Syarhu Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abil ‘Izz hal. 143, cet. Al-Maktab Al-Islami, Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Yang mencabut nyawa orang yang mati bunuh diri juga malaikat pencabut nyawa, yaitu Malakul Maut. Adapun penamaan malaikat Izrail, maka penamaan ini tidak tsabit (shahih) dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, penamaan ini diingkari oleh para ulama. Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani dalam Syarhu wa Ta’liq Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah (hal. 84, cet. Maktabah Al-Ma’arif) ketika menjelaskan perkataan Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Rahimahullah : “Kita juga beriman dengan Malakul Maut yang diperwakilkan untuk mencabut ruh-ruh alam.” Al-Albani berkata dalam syarahnya: ”Inilah namanya dalam Al-Qur’an. Adapun penamaan Izrail sebagaimana yang tersebar di kalangan manusia, tidak ada dalil (dasar)nya. Hanyalah sesungguhnya hal itu berasal dari cerita Al-Isra’iliyat (cerita Bani Isra’il).”
Al-Imam Al-Faqih Al-‘Utsaimin Rahimahullah berkata dalam Syarhu Al-Aqidah Al-Wasitiyyah (hal. 46, cet. Daruts Tsurayyah lin Nasyr): “Demikian pula kita mengetahui bahwa di antara para malaikat ada yang diperwakilkan untuk mencabut ruh-ruh Bani Adam atau ruh-ruh setiap makhluk yang bernyawa. Mereka adalah Malakul Maut dan rekan-rekan malaikat yang membantunya. Malakul Maut tidak bernama Izrail, karena penamaan tersebut tidak tsabit (tetap) dari Nabi n.”
Wallahu a’lam.


Sumber: majalah Asysyariah online  Asy Syariah Edisi 059
(asysyariah.com)

Memaafkan Kesalahan dan Mengubur Dendam


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.)
Waktu terus berputar dan beragam peristiwa ikut mengiringi derap langkah kehidupan manusia. Adalah kenyataan bahwa problematika hidup bermasyarakat sangatlah kompleks. Yang demikian itu karena masyarakat berikut seluruh lapisannya memiliki karakter dan kepribadian yang tidak sama.
Demikian pula tingkat pemahaman tentang agama dan kesiapan untuk menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari pun sangat beragam. Oleh sebab itu, masing-masing individu hendaknya memiliki kesiapan jiwa yang bisa menjadi bekal menghadapi keadaan apapun dengan tepat. Di antaranya adalah sikap tabah dan lapang dada yang didukung oleh ilmu syariat. Bisa dikatakan, secara umum orang itu siap untuk dipuji dan diberi, namun sangat berat jika dicela dan dinodai. Di sinilah ujian, apakah seseorang mampu menguasai dirinya saat pribadinya disinggung dan haknya ditelikung. Dalam Al-Qur’an, Allah l memuji orang-orang yang mampu menahan amarahnya seperti firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (Ali ’Imran: 134)
Demikian pula Rasulullah n telah menegaskan bahwa orang yang mampu menahan dirinya di saat marah dia sejatinya orang yang kuat. Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat marah.” (HR. Al-Bukhari no. 6114)
Memaafkan
Adalah amalan yang sangat mulia ketika seseorang mampu bersabar terhadap gangguan yang ditimpakan orang kepadanya serta memaafkan kesalahan orang padahal ia mampu untuk membalasnya. Gangguan itu bermacam-macam bentuknya. Adakalanya berupa cercaan, pukulan, perampasan hak, dan semisalnya. Memang sebuah kewajaran bila seseorang menuntut haknya dan membalas orang yang menyakitinya. Dan dibolehkan seseorang membalas kejelekan orang lain dengan yang semisalnya. Namun alangkah mulia dan baik akibatnya bila dia memaafkannya. Allah l berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)
Ayat ini menyebutkan bahwa tingkat pembalasan ada tiga:
Pertama: Adil, yaitu membalas kejelekan dengan kejelekan serupa, tanpa menambahi atau mengurangi. Misalnya jiwa dibalas dengan jiwa, anggota tubuh dengan anggota tubuh yang sepadan, dan harta diganti dengan yang sebanding.1
Kedua: Kemuliaan, yaitu memaafkan orang yang berbuat jelek kepadanya bila dirasa ada perbaikan bagi orang yang berbuat jelek. Ditekankan dalam pemaafan, adanya perbaikan dan membuahkan maslahat yang besar. Bila seorang tidak pantas untuk dimaafkan dan maslahat yang sesuai syariat menuntut untuk dihukum, maka dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan untuk dimaafkan.
Ketiga: Zalim yaitu berbuat jahat kepada orang dan membalas orang yang berbuat jahat dengan pembalasan yang melebihi kejahatannya. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 760, cet. Ar-Risalah)
Kedudukan yang mulia
Memaafkan kesalahan orang acapkali dianggap sebagai sikap lemah dan bentuk kehinaan, padahal justru sebaliknya. Bila orang membalas kejahatan yang dilakukan seseorang kepadanya, maka sejatinya di mata manusia tidak ada keutamaannya. Tapi di kala dia memaafkan padahal mampu untuk membalasnya, maka dia mulia di hadapan Allah l dan manusia.
Berikut beberapa kemuliaan dari memaafkan kesalahan.
1. Mendatangkan kecintaan
Allah l berfirman dalam surat Fushshilat ayat 34-35:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35)
Ibnu Katsir t menerangkan: “Bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat. Ibnu ‘Abbas c mengatakan: ‘Allah l memerintahkan orang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah l menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat’.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim 4/109)
2. Mendapat pembelaan dari Allah l
Al-Imam Muslim t meriwayatkan hadits Abu Hurairah z bahwa ada seorang laki-laki berkata: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya namun mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun mereka berbuat jelek. Aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan terhadapku.” Maka Rasulullah n bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat penolong dari Allah l atas mereka selama kamu di atas hal itu.” (HR. Muslim)

3. Memperoleh ampunan dan kecintaan dari Allah l
Allah ta'ala berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Adalah Abu Bakr z dahulu biasa memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di antaranya Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk famili Abu Bakr dan muhajirin. Di saat tersebar berita dusta seputar ‘Aisyah binti Abi Bakr istri Nabi n, Misthah termasuk salah seorang yang menyebarkannya. Kemudian Allah l menurunkan ayat menjelaskan kesucian ‘Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera dan Allah l memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu, Abu Bakr z bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian kepadanya. Maka Allah l menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakr z mengatakan: “Betul, demi Allah. Aku ingin agar Allah l mengampuniku.” Lantas Abu Bakr z kembali memberikan nafkah kepada Misthah z. (lihat Shahih Al-Bukhari no. 4750 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287)
Nabi n bersabda:
“Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi Allah l, dan berilah ampunan niscaya Allah l mengampunimu.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 293)
Al-Munawi t berkata: “Allah l mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf. Allah l juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut.” (Faidhul Qadir 1/607)
Adapun Allah l mencintai orang yang memaafkan, karena memberi maaf termasuk berbuat baik kepada manusia. Sedangkan Allah l cinta kepada orang yang berbuat baik, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah l menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)

4. Mulia di sisi Allah l maupun di sisi manusia
Suatu hal yang telah diketahui bahwa orang yang memaafkan kesalahan orang lain, disamping tinggi kedudukannya di sisi Allah l, ia juga mulia di mata manusia. Demikian pula ia akan mendapat pembelaan dari orang lain atas lawannya, dan tidak sedikit musuhnya berubah menjadi kawan. Nabi n bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Shadaqah –hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah l menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu’) karena Allah l melainkan diangkat oleh Allah l.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)

Kapan memaafkan itu terpuji?
Seseorang yang disakiti oleh orang lain dan bersabar atasnya serta memaafkannya padahal dia mampu membalasnya maka sikap seperti ini sangat terpuji. Nabi n bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melakukan –pembalasan– maka Allah l akan memanggilnya di hari kiamat di hadapan para makhluk sehingga memberikan pilihan kepadanya, bidadari mana yang ia inginkan.” (Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3394)
Demikian pula pemaafan terpuji bila kesalahan itu berkaitan dengan hak pribadi dan tidak berkaitan dengan hak Allah l. ‘Aisyah x berkata: “Tidaklah Rasulullah n membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah l dilukai. Maka beliau menghukum dengan sebab itu karena Allah l.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, tidaklah beliau disakiti pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau memaafkan. Ada orang yang menarik baju Nabi n dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh Nabi n tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada pula yang hendak membunuh Nabi n namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya. Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi n. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah l dan permusuhan terhadap syariat-Nya. Namun bila menyentuh hak Allah l dan agamanya, beliau pun marah dan menghukum karena Allah l serta menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi karena mereka banyak melukai kehormatan Allah l. (disarikan dari Al-Adab An-Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)
Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada di atas kejahatannya. Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menegaskan: “Melakukan perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.” (lihat Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 20)

Faedah
Ada masalah yang banyak dilakukan orang dengan tujuan berbuat baik, misalnya kala seseorang mengemudikan kendaraannya lalu menabrak seseorang hingga meninggal. Kemudian keluarga korban datang dan menggugurkan diyat (tebusan) dari pelaku kecelakaan. Apakah perbuatan mereka menggugurkan tebusan termasuk perkara terpuji, atau dalam hal ini perlu ada perincian?
Dalam masalah ini, yang benar ada perincian, yaitu melihat kondisi orang yang menabrak. Apakah dia termasuk orang yang ugal-ugalan dan tidak peduli siapa pun yang dia tabrak? Bila seperti ini, yang utama adalah tidak dimaafkan agar memunculkan efek jera. Juga agar manusia selamat dari kejahatannya. Tetapi bila yang menabrak orangnya baik dan sudah berhati-hati serta mengemudikan kendaraannya dengan stabil, maka di sini pun ada perincian:
1. Bila si korban punya utang yang tidak bisa dibayar kecuali dengan uang tebusan maka bagi ahli waris tidak ada hak untuk menggugurkan tebusan.
2. Bila si korban tidak punya utang namun dia punya anak-anak yang masih kecil dan belum mampu usaha, maka tidak ada hak bagi ahli waris untuk memaafkan pelaku.
Bila dua keadaan ini tidak ada, maka memaafkan lebih utama. (disarikan dari Kitabul ‘Ilmi hal. 188-189 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t)

Manusia-manusia pilihan
Orang yang mulia selalu menghiasi dirinya dengan kemuliaan dan selalu berusaha agar dalam hatinya tidak bersemayam sifat-sifat kejelekan. Para Nabi Allah l merupakan teladan dalam hal memaafkan kesalahan orang. Misalnya adalah Nabi Yusuf q. Beliau telah disakiti oleh saudara-saudaranya sendiri dengan dilemparkan ke dalam sumur, lantas dijual kepada kafilah dagang sehingga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan menanggung penderitaan yang tiada taranya. Namun Allah l berkehendak memuliakan hamba-Nya melalui ujian ini. Allah l pun mengangkat kedudukan Nabi Yusuf q sehingga menjadi bendahara negara di Mesir kala itu. Semua orang membutuhkannya, tidak terkecuali saudara-saudaranya yang dahulu pernah menyakitinya. Tatkala mereka datang ke Mesir untuk membeli kebutuhan pokok mereka, betapa terkejutnya saudara-saudara Nabi Yusuf q ketika tahu bahwa Nabi Yusuf q telah diangkat kedudukannya sebegitu mulianya. Mereka pun meminta maaf atas kesalahan mereka selama ini. Nabi Yusuf q memaafkannya dan tidak membalas. Beliau q mengatakan:
“Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni (kalian), dan Dia adalah Maha penyayang di antara para Penyayang.” (Yusuf: 92)
Demikian pula Nabi Musa dan Nabi Khidhir e, ketika keduanya melakukan perjalanan dan telah sampai pada penduduk suatu negeri. Keduanya meminta untuk dijamu oleh penduduk negeri itu karena mereka adalah tamu yang punya hak untuk dijamu. Namun penduduk negeri itu tidak mau menjamu. Ketika keduanya berjalan di negeri itu, didapatkannya dinding rumah yang hampir roboh, maka Nabi Khidhir q menegakkan dinding tersebut.
Adapun Nabi Muhammad n, beliau adalah manusia yang terdepan dalam segala kebaikan. Pada suatu ketika ada seorang wanita Yahudi memberi hadiah kepada Nabi n berupa daging kambing. Nabi n tidak tahu ternyata daging itu telah diberi racun. Nabi n pun memakannya. Setelah itu Nabi n diberi tahu bahwa daging itu ada racunnya. Nabi n berbekam dan dengan seizin Allah l beliau tidak meninggal. Wanita tadi dipanggil dan ditanya maksud tujuannya. Ternyata dia ingin membunuh Nabi n. Maka Nabi n memaafkan dan tidak menghukumnya. (Bisa dilihat di Shahih Al-Bukhari no. 2617 dan Zadul Ma’ad 3/298)
Wallahu a’lam.

Sumber :
asysyariah.com
Asy Syariah Edisi 053 

Jalan Kebenaran hanya satu

Booklet AL-ILMU Kendari edisi Jumat, 24 Muharram 1437 H / 06 November 2015 M

04
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ
Pepatah mengatakan, “Banyak jalan menuju ke Roma.” Berdalih dengan pepatah ini, banyak orang yang menukilnya untuk menggambarkan bahwa jalan ke surga itu bisa ditempuh melalui banyak cara. Menurut mereka, berbagai praktik beragama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam -sekalipun menyelisihi sunnah Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam– bisa mengantarkan ke surga. Walaupun berbeda-beda tata cara ibadahnya, selama niat dan maksudnya adalah kebaikan, pada hakikatnya tujuan mereka sama, yaitu surga. Beragam kelompok Islam dengan berbagai perbedaannya itu justru merupakan rahmat.
Lebih naif lagi, kaidah ini mereka kembangkan untuk menyikapi orang-orang kafir, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani juga akan masuk surga. Hal ini mereka nyatakan demi kesetaraan kaum beriman, yang berbeda hanya tata cara beragamanya. Benarkah jalan menuju surga itu banyak dan bisa ditempuh dengan berbagai cara?
  • Penjelasan Allah dalam al-Qur’an
Pembaca Qonitah yang semoga dirahmati Allah, siapakah yang paling tahu tentang jalan menuju surga? Semua orang beriman pasti setuju bahwa Allah-lah yang paling tahu tentang jalan menuju surga-Nya. Sebab, hanya Dia yang memiliki dunia dan akhirat. Mari, kita lihat penjelasan Allah tentang jalan kebenaran yang bisa mengantarkan setiap hamba kepada-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Hal itu diperintahkan kepada kalian agar kalian bertakwa.” (al-An’am: 153)
Dalam ayat yang mulia ini Allah menyebutkan jalan-Nya dalam bentuk mufrad (tunggal), bukan dalam bentuk jamak. Artinya, jalan-Nya hanya satu, tidak berbilang. Sebaliknya, ketika menyebutkan jalan-jalan kesesatan, Allah menyebutkannya dalam bentuk jamak. Artinya, jalan kesesatan itu banyak jumlahnya.
Seorang ulama ahli tafsir terkemuka, al-Imam Qatadah rahimahullah, ketika menafsirkan firman-Nya هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya jalan kebenaran itu adalah jalan yang satu saja, yang semuanya adalah petunjuk, dan tempat kembalinya adalah surga. Adapun Iblis telah membuat banyak jalan yang terpecah-pecah, semuanya adalah kesesatan, dan tempat kembalinya adalah neraka.”
Al-Imam as-Sa’di rahimahullah berkata, “…maka ikutilah jalan Allah tersebut agar kalian bisa meraih kemenangan dan keberhasilan, serta meraih cita-cita dan kebahagiaan. Jangan mengikuti jalan-jalan (yang lain), yaitu jalan-jalan yang menyelisihi jalan-Nya, yang menyebabkan kalian terpisah (menyimpang) dari jalan-Nya, yaitu tersesat dan menyimpang ke kanan dan ke kiri.” (Tafsir as-Sa’di)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hal itu karena jalan yang mengantarkan kepada Allah itu hanya satu, yaitu jalan yang dengannya Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya. Walaupun manusia membawa berbagai jalan dan minta dibukakan dari setiap pintu, semua jalan tersebut buntu, dan pintu-pintu tersebut tertutup bagi mereka, kecuali jalan yang satu ini, yang bersambung dengan Allah dan mengantarkan kepada-Nya.” Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”(Ali ‘Imran: 85)
Jalan-jalan selain Islam adalah jalan kesesatan. Sebab, setelah Allah mengutus Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam, terhapuslah segala ajaran terdahulu. Tidak ada kelonggaran lagi bagi siapa pun yang mendengar seruan Islam kecuali harus mengikutinya. Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits Abu Hurairah,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah seorang Yahudi atau Nasrani dari kalangan umat ini mendengar tentang diriku, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan termasuk penghuni neraka.”(HR. Muslim)
Ayat dan hadits di atas mengandung bantahan terhadap paham pluralisme agama yang membenarkan segala ajaran agama. Klaim mereka bahwa semua agama itu sama -sekalipun berbeda-beda pengamalannya, tujuan mereka adalah sama, yaitu masuk surga- sudah dibantah oleh Allah dan Rasul-Nya. Jalan yang mengantarkan kepada Allah itu hanya Islam yang diajarkan oleh Rasulullah. Barang siapa tidak beriman kepada Nabi Muhammadshalallahu ‘alaihi wassalam, dia kafir dan kekal di neraka.
  • Penjelasan Rasulullah
Siapa orang pertama yang paling tahu tentang jalan kebenaran? Tentu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam jawabannya. Beliau telah menerangkan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam membuat untuk kami sebuah garis yang lurus dengan tangan beliau, lalu bersabda,‘Ini adalah jalan Allah yang lurus.’ Kemudian, beliau membuat garis di kanan dan kiri garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan, yang di setiap jalan tersebut pasti ada setan yang menyeru kepadanya.’ Beliau membaca firman Allah,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
‘Bahwasanya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya’.” (HR. Ahmad)
Al-Imam Mujahid rahimahullah, salah satu ulama ahli tafsir, murid Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan, yakni bid’ah dan syubhat.”
Pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, para sahabat dibimbing untuk menempuh jalan kebenaran. Segala sisi jalan kebenaran telah Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam ajarkan. Pada akhir masa generasi sahabat, mulailah timbul hawa nafsu dan syubhat (kerancuan dalam mengamalkan agama Islam). Setelah para sahabat Rasulullah wafat, kebid’ahan dan hawa nafsu pun semakin berkembang. Sungguh benar penjelasan al-Imam Mujahid bahwa kebid’ahan dan syubhat menyebabkan penyimpangan dari jalan Allah. Oleh karena itulah, umat manusia terpecah dalam berbagai aliran.
Lihatlah bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menggambarkan jalan kebenaran dengan sebuah garis lurus! Hal ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu. Sementara itu, beliau gambarkan jalan-jalan kesesatan dengan banyak garis, yang menunjukkan bahwa jalan kesesatan itu banyak dan terpecah-pecah.
  • Cara Menempuh Jalan Kebenaran
Teranglah bagi kita, bahwa jalan kebenaran memang hanya satu, tidak berbilang. Kita semua tentu ingin meniti jalan kebenaran itu. Lalu, bagaimanakah cara menempuh jalan tersebut? Sementara kita saksikan, setiap kelompok Islam mengaku bahwa merekalah yang benar, merekalah yang lurus, sedangkan yang lain salah. Lantas, apa yang menjadi standar kebenaran?
Ingatlah, ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wassalammemberi kabar kepada kita, bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Sabda beliau dalam hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyanradhiyallahu ‘anhu“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah terpecah menjadi 72 golongan. Adapun umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan; 72 di neraka, dan satu di surga, yaitu al-Jama’ah.” (HR. Ahmad)
At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan tambahan dalam hadits ini, “Al-Jama’ah adalah siapa saja yang mengamalkan Islam sebagaimana pengamalanku dan para sahabatku.”
Hanyalah satu kelompok yang selamat, yaitu yang mengamalkan Islam seperti pengamalan Rasulullah dan para sahabat beliau. Adapun yang lainnya masuk neraka untuk dibersihkan dari penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan, meski akhirnya mereka pun dimasukkan ke surga.
Dalam hadits lain Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memuji tiga generasi terbaik umat Islam. Yang pertama adalah generasi beliau, yakni para sahabat beliau. Mereka telah mengambil ajaran Islam yang masih segar, langsung dari Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam. Mereka mengamalkan Islam dengan bimbingan langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Generasi setelahnya adalah generasi tabi’in, yaitu generasi yang menimba ilmu dari para murid Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Generasi setelahnya adalah yang menimba ilmu dari tabi’in, yaitu atba’ut tabi’in.
Ketiga generasi ini telah mengamalkan Islam dengan sebaik-baiknya, Islam yang masih murni, belum tercampuri oleh berbagai bid’ah dan syubhat. Ketiga generasi terbaik inilah yang disebut sebagai as-salafush shalih (pendahulu kita yang saleh). Maka dari itu, barang siapa ingin menempuh jalan kebenaran, hendaknya dia mengikuti metode mereka dalam mengamalkan Islam, baik dalam hal ibadah, akidah, adab, maupun muamalah. Singkatnya, al-Qur’an dan as-Sunnah mesti diamalkan berdasarkan pemahaman as-salafush shalih.
Namun, ada hal penting yang perlu kita perhatikan. Sekalipun mereka adalah generasi terbaik, kita tetap tidak boleh taklid kepada individu sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in. Sebab, mereka itu manusia biasa, tidak maksum. Terkadang mereka juga berselisih, hanya saja perselisihan mereka sangat sedikit. Seandainya kita mendapati perselisihan pendapat mereka, hendaknya kita tetap memilih pendapat yang cocok dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ibnul Qasim berkata, “Saya mendengar al-Imam Malik dan al-Laits berkata, ‘Perselisihan para sahabat Rasulullah itu tidak seperti yang dikatakan manusia bahwa padanya ada kelapangan. Tidak demikian, yang ada adalah benar dan salah.’ Pendapat yang sesuai dengan dalil, itulah kebenaran yang kita ikuti.”
Pembaca Qonitah yang dirahmati oleh Allah…. Kesimpulannya, jalan kebenaran adalah mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman as-salafush shalih. Itulah prinsip untuk menentukan suatu kebenaran.
Di jalan kebenaran itulah terdapat beragam amalan yang bisa mengantarkan ke surga. Misalnya, menegakkan shalat, berpuasa, menunaikan zakat, berhaji, berjihad, berdakwah, membaca al-Qur’an, berzikir, dan sebagainya. Amalan-amalan tersebut adalah jalan-jalan keselamatan. Jadi, jalan keselamatan memang banyak jumlahnya, tetapi bermuara kepada satu jalan kebenaran, yaitu pelaksanaannya berdasarkan pemahaman as-salafush shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ. يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ
“Telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (al-Qur’an). Yang dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan.” (al-Maidah: 15-16)
Demikianlah gambaran hakikat jalan kebenaran. Jalan inilah yang setiap hari kita mohon kepada Allah dalam setiap rakaat shalat kita,
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6) 
Jalan yang lurus itu mesti diupayakan dengan menuntut ilmu agama, kemudian mencurahkan segala kemampuan untuk mengamalkannya. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk selalu berada di jalan-Nya sampai kita menghadap-Nya. Amin. Wallahu a’lamu bish shawab.
PenulisAl-Ustadz Abu Hafs Umar hafidzahullah

*********** Permata Salaf***********

SEBAB PENYIMPANGAN

Al-Imam Ibnu Baththah rahimahullahmengatakan, “Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, saya telah merenungkan sebab yang mengeluarkan sekelompok orang dari as-Sunnah dan al-Jamaah, memaksa mereka menuju kebid’ahan dan keburukan, membuka pintu bencana yang menimpa hati mereka, dan menutupi cahaya kebenaran dari pandangan mereka. Saya temukan sebabnya dari dua sisi:
1.    Mencari-cari, berdalam-dalam, dan banyak bertanya yang tidak perlu (tentang masalah tertentu), yang tidak membahayakan seorang muslim kalau ia tidak tahu, serta tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin seandainya ia tahu.
2.    Duduk bersama dan bergaul dengan orang yang tidak dirasa aman dari kejelekannya, yang berteman dengannya akan merusak kalbu.”
(al-Ibanah, karya Ibnu Baththah rahimahullah, 1/390)

TERUS TERANG DAN MENASIHATI

Ketika berteman dengan orang-orang yang baik, seseorang terkadang mendapatkan nasihat yang keras. Akan tetapi, ketika bersahabat dengan orang-orang yang buruk, dia akan sering mendapatkan basa-basi dan sanjungan.
Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati Malik bin Dinar ketika mengatakan,
إِنَّك إِنْ تَنْقُلِ الْحِجَارَةَ مَعَ الْأَبْرَارِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَأْكُلَ الْحَلْوَى مَعَ الْفُجَّارِ
“Sungguh, engkau memindahkan batu bersama orang-orang yang baik, itu lebih baik daripada engkau memakan manisan bersama orang-orang yang jelek.”
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sulit didapatkan pada masa ini seorang teman yang memiliki sifat ini (terus terang dan menasihati). Sebab, jarang sekali ada kawan yang tidak memberikan sanjungan, justru memberi tahu kekurangan. Dahulu, salaf mencintai orang yang mengingatkan mereka tentang berbagai kekurangan mereka. Adapun kita sekarang, biasanya menjadikan orang yang mengetahui kekurangan kita sebagai orang yang paling dibenci. Ini adalah tanda lemahnya iman.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hlm. 147)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahmengatakan, “Saudaramu ialah yang menasihati, mengingatkan, dan memperingatkan dirimu. Orang yang tidak memerhatikanmu, berpaling darimu, dan berbasabasi denganmu, bukanlah saudaramu. Saudaramu yang sejati ialah orang yang menasihatimu, memberimu wejangan, mengingatkanmu, dan mengajakmu kepada jalan Allah ‘azza wa jalla. Ia menjelaskan kepadamu jalan keselamatan sehingga engkau bisa menitinya. Selain itu, dia memperingatkanmu dari jalan kebinasaan dan akibat buruknya sehingga engkau bisa menjauhinya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 21/14)

Sumber:
  • http://qonitah.com/jalan-kebenaran-hanya-satu/
  • http://asysyariah.com/category/permata-salaf/
Dikutip dari ahlussunnahkendari.com